Pages

Minggu, 17 Agustus 2014

Sejarah Fotografi di Indonesia



SEJARAH FOTOGRAFI INDONESIA
Sejarah fotografi di Indonesia dimulai pada tahun 1857, pada saat 2 orang juru foto Woodbury dan Page membuka sebuah studio foto di Harmonie, Batavia. Masuknya fotografi ke Indonesia tepat 18 tahun setelah Daguerre mengumumkan hasil penelitiannya yang kemudian disebut-sebut sebagai awal perkembangan fotografi komersil. Studio fotopun semakin ramai di Batavia. Dan kemudian banyak fotografer professional maupun amatir mendokumentasikan hiruk pikuk dan keragaman etnis di Batavia.



Kamera Daguerre


Masuknya fotografi di Indonesia adalah tahun awal dari lahirnya teknologi fotografi, maka kamera yang adapun masih berat dan menggunakan teknologi yang sederhana. Teknologi kamera pada masa itu hanya mampun merekam gambar yang statis. Karena itu kebanyakan foto kota hasil karya Woodbury dan Page terlihat sepi karena belum memungkinkan untuk merekam gambar yang bergerak.
Terkadang fotografer harus menggiring pedagang dan pembelinya ke dalam studio untuk dapat merekam suasana hirup pikuk pusat perbelanjaan. Oleh sebab itu telihat bahwa pedagang dan pembelinya beraktifitas membelakangi sebuah layar. Ini karena teknologi kamera masih sederhana dan masih riskan jika terlalu sering dibawa kemana-mana.
Pada tahun 1900an, muncul penemuan kamera yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa kemana-mana sehingga memungkinkan para fotografer untuk melakukan pemotretan outdoor. Bisa dibilang ini adalah awal munculnya kamera modern.Karena bentuknya yang lebih sederhana, kamera kemudian tidak dimiliki oleh fotografer saja tetapi juga dimiliki oleh masyarakat awam.
Banyak karya-karya fotografer maupun masyarakat awam yang dibuat pada masa awal perkembangan fotografi di Indonesia tersimpan di Museum Sejarah Jakarta. Seperti namanya, museum ini hanya menghadirkan foto-foto kota Jakarta pada jaman penjajahan Belanda saja. Karena memang perkembangan teknologi fotografi belum masuk ke daerah. Salah satu foto yang dipamerkan adalah suasana Pasar Pagi, Glodok, Jakarta pada tahun 1930an. Pada awal dibangun, pasar ini hanya diisi oleh beberapa lapak pedagang saja. Ini berbeda dengan kondisi sekarang dimana Glodok merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta.


Kassian Cephas (1844-1912): Yang Pertama, yang Terlupakan
Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa). Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.
 
Kassian Cephas

Kassian Cephas memang bukan tokoh nasional yang dulunya menenteng senjata atau berdiplomasi menentang penjajahan bersama politikus pada zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan. Ia hanyalah seorang fotografer asal Yogyakarta yang eksis di ujung abad ke-19, di mana dunia fotografi masih sangat asing dan tak tersentuh oleh penduduk pribumi kala itu. Nama Kassian Cephas mungkin baru disebut bila foto-foto tentang Sultan Hamengku Buwono VII diangkat sebagai bahan perbincangan.Dulu, Cephas pernah menjadi fotografer khusus Keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII. Karena kedekatannya dengan pihak Keraton, maka ia bisa memotret momen-momen khusus yang hanya diadakan di Keraton pada waktu itu. Hasil karya foto-fotonya itu ada yang dimuat di dalam buku karya Isaac Groneman (seorang dokter yang banyak membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa) dan buku karangan Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang berjudul "Cephas, Yogyakarta: Photography in the Service of the Sultan".

Sultan Hamengku Buwono VII karya Kassian Cephas

Dari foto-fotonya tersebut, bisa dibilang bahwa Cephas telah memotret banyak hal tentang kehidupan di dalam Keraton, mulai dari foto Sultan Hamengku Buwono VII dan keluarganya, bangunan-bangunan sekitar Keraton, upacara Garebeg di alun-alun, iring-iringan benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, hingga pemandangan Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak itu saja, bahkan Cephas juga diketahui banyak memotret candi dan bangunan bersejarah lainnya, terutama yang ada di sekitar Yogyakarta. Berkaitan dengan kegiatan Cephas memotret kalangan bangsawan Keraton, ada cerita yang cukup menarik. Zaman dulu, dari sekian banyak penduduk Jawa waktu itu, hanya segelintir saja rakyat yang bisa atau pernah melihat wajah rajanya. Tapi, dengan foto-foto yang dibuat Cephas, maka wajah-wajah raja dan bangsawan bisa dikenali rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar