Sejarah
fotografi di Indonesia dimulai pada tahun 1857, pada saat 2 orang juru foto
Woodbury dan Page membuka sebuah studio foto di Harmonie, Batavia. Masuknya
fotografi ke Indonesia tepat 18 tahun setelah Daguerre mengumumkan hasil
penelitiannya yang kemudian disebut-sebut sebagai awal perkembangan fotografi
komersil. Studio fotopun semakin ramai di Batavia. Dan kemudian banyak
fotografer professional maupun amatir mendokumentasikan hiruk pikuk dan
keragaman etnis di Batavia.
Kamera Daguerre
Masuknya
fotografi di Indonesia adalah tahun awal dari lahirnya teknologi fotografi,
maka kamera yang adapun masih berat dan menggunakan teknologi yang sederhana.
Teknologi kamera pada masa itu hanya mampun merekam gambar yang statis. Karena
itu kebanyakan foto kota hasil karya Woodbury dan Page terlihat sepi karena
belum memungkinkan untuk merekam gambar yang bergerak.
Terkadang
fotografer harus menggiring pedagang dan pembelinya ke dalam studio untuk dapat
merekam suasana hirup pikuk pusat perbelanjaan. Oleh sebab itu telihat bahwa
pedagang dan pembelinya beraktifitas membelakangi sebuah layar. Ini karena
teknologi kamera masih sederhana dan masih riskan jika terlalu sering dibawa
kemana-mana.
Pada tahun
1900an, muncul penemuan kamera yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa
kemana-mana sehingga memungkinkan para fotografer untuk melakukan pemotretan
outdoor. Bisa dibilang ini adalah awal munculnya kamera modern.Karena bentuknya
yang lebih sederhana, kamera kemudian tidak dimiliki oleh fotografer saja
tetapi juga dimiliki oleh masyarakat awam.
Banyak
karya-karya fotografer maupun masyarakat awam yang dibuat pada masa awal
perkembangan fotografi di Indonesia tersimpan di Museum Sejarah Jakarta.
Seperti namanya, museum ini hanya menghadirkan foto-foto kota Jakarta pada
jaman penjajahan Belanda saja. Karena memang perkembangan teknologi fotografi
belum masuk ke daerah. Salah satu foto yang dipamerkan adalah suasana Pasar
Pagi, Glodok, Jakarta pada tahun 1930an. Pada awal dibangun, pasar ini
hanya diisi oleh beberapa lapak pedagang saja. Ini berbeda dengan kondisi
sekarang dimana Glodok merupakan pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta.
Kassian Cephas
(1844-1912): Yang Pertama, yang Terlupakan
Cephas lahir pada 15 Januari 1845 dari
pasangan Kartodrono dan Minah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia adalah anak
angkat dari orang Belanda yang bernama Frederik Bernard Fr. Schalk. Cephas
banyak menghabiskan masa kanak-kanaknya di rumah Christina Petronella Steven (siapa).
Cephas mulai belajar menjadi fotografer profesional pada tahun 1860-an. Ia
sempat magang pada Isidore van Kinsbergen, fotografer yang bekerja di Jawa
Tengah sekitar 1863-1875. Tapi berita kematian Cephas di tahun 1912 menyebutkan
bahwa ia belajar fotografi kepada seseorang yang bernama Simon Willem Camerik.
Kassian Cephas
Kassian Cephas memang bukan tokoh
nasional yang dulunya menenteng senjata atau berdiplomasi menentang penjajahan
bersama politikus pada zaman sebelum dan sesudah kemerdekaan. Ia hanyalah
seorang fotografer asal Yogyakarta yang eksis di ujung abad ke-19, di mana
dunia fotografi masih sangat asing dan tak tersentuh oleh penduduk pribumi kala
itu. Nama Kassian Cephas mungkin baru disebut bila foto-foto tentang Sultan
Hamengku Buwono VII diangkat sebagai bahan perbincangan.Dulu, Cephas pernah
menjadi fotografer khusus Keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono
VII. Karena kedekatannya dengan pihak Keraton, maka ia bisa memotret
momen-momen khusus yang hanya diadakan di Keraton pada waktu itu. Hasil karya
foto-fotonya itu ada yang dimuat di dalam buku karya Isaac Groneman (seorang
dokter yang banyak membuat buku-buku tentang kebudayaan Jawa) dan buku karangan
Gerrit Knaap (sejarawan Belanda yang berjudul "Cephas, Yogyakarta:
Photography in the Service of the Sultan".
Sultan Hamengku Buwono VII karya Kassian Cephas
Dari foto-fotonya tersebut, bisa
dibilang bahwa Cephas telah memotret banyak hal tentang kehidupan di dalam
Keraton, mulai dari foto Sultan Hamengku Buwono VII dan keluarganya,
bangunan-bangunan sekitar Keraton, upacara Garebeg di alun-alun, iring-iringan
benda untuk keperluan upacara, tari-tarian, hingga pemandangan Kota Yogyakarta
dan sekitarnya. Tidak itu saja, bahkan Cephas juga diketahui banyak memotret
candi dan bangunan bersejarah lainnya, terutama yang ada di sekitar
Yogyakarta. Berkaitan dengan kegiatan Cephas memotret kalangan bangsawan
Keraton, ada cerita yang cukup menarik. Zaman dulu, dari sekian banyak penduduk
Jawa waktu itu, hanya segelintir saja rakyat yang bisa atau pernah melihat
wajah rajanya. Tapi, dengan foto-foto yang dibuat Cephas, maka wajah-wajah raja
dan bangsawan bisa dikenali rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar